Karo?

Senin, 15 Desember 2008

Oleh Alto Belli. Ginting

Sebentar lagi tahun ajaran baru, tentu banyak keluarga yang hendak menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa waktu lalu saya didatangi seorang ibu hendak mengajukan personal loan dalam kapasitas sebagai loan officer sebuah bank Inggris di Jakarta. 'Seh sura-sura turah sinanggel', begitu kira-kira kondisinya. Anaknya lulus bebas testing teknik arsitektur ITB, tapi ia harus menyediakan sumbangan sebesar 50 jeti. Tulisan berikut bukan mengupas tentang mahalnya biaya pendidikan sekarang ini, tapi untuk melihat sisi lain bagaimana perkembangan peran mahasiswa (pemuda) Karo dari waktu ke waktu.

Soekarno pernah berkata, 'Beri padaku beberapa pemuda, aku akan mengubah dunia!' katanya. Ucapannya memang heroik dan 'agak' berlebihan. Namun perkataan itu bukanlah ilusi bila kita mengkaji kepeminpinan sekaliber beliau. Sayangnya Soekarno tidak pernah mengatakan model pemuda yang bagaimana yang ia maksud. Tapi setidaknya, ucapan itu memiliki pesan bagaimana potensi kaum muda dapat menciptakan suatu keajaiban bila energinya didaya-gunakan dengan benar. Orang muda (mahasiswa) adalah energi yang luar-biasa dalam sejarah bangsa kita. Indonesia merdeka berkat bantuan orang muda. Soekarno sendiri tokoh pemuda di zamannya, dan tersandung oleh gerakan pemuda angkatan 66 (tanpa mengecilkan peran unsur lain). Soeharto lengser karena demo mahasiswa, dan banyak lagi contoh dimana kaum muda adalah aktor pemeran utama. Mereka memiliki energi besar yang dapat membungkam rezim kokoh dan kuat. Mahasiswa adalah dinamisator dan pelopor perubahan yang netral. Selain itu mereka juga adalah bekal calon kelas menegah yang dapat membawa perubahan di masa depan.

Bagaimana dengan kaum muda Karo? Sejarah menulis bahwa awal mula-mula pergerakan kaum muda Karo terjadi di sekitar tahun 1930-an. Djamin Gintings adalah aktivis Pertoempoean Karo semasa masih menempuh pendidikan di Medan. Selain dia, ada para pemuda Karo yang masih amat sedikit jumlahnya yang rata-rata masih mengenyam pendidikan setingkat sekolah menengah, seperti : Meer Uitgebreid Lager School Onderwijs (setingkat SMP), Hoogere Burger School (HBS), Algemene Middelbare School (AMS), Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hollandsche Inlandsche Kweek School (HIK) atau Meddelbare Hadel School (MHS). Nama-namanya patut kita catat, seperti : Selamat Ginting (Pa Kilap), Djamin Gintings, Nelang Sembiring, Djaga Bukit, Benar Sitepu, Koran Karo-Karo, Manis Manik, Rumani Barus, Mbaba Bangun, Rakutta Sembiring, Djaulung Munthe, Asan Sinisuka, Payung Bangun, Kontan Bangun (K. Pri Bangun), Roga Ginting, Bom Ginting, Netap Bukit, Amin Adap Sebayang, Metehsa Tarigan, Selamat Ketaren, Raja Bale Barus, R. N. Maha, R.O. Sembiring, Matang Sitepu dll. (biografi NJ Sembiring hal. 85). Sebenarnya, di ranah perantauan pada tahun 1939 telah ada Pondokan Karo di Jakarta berlokasi di Zij Gang Boengkoer No. 6 Jakarta Pusat. Namun tidak ada risalah tentang kehidupan mereka.

Para pemuda Karo mulai terlibat dalam pergerakan tahun 1930-an sampai 1940-an. Dalam pada masa ini juga muncul suatu kelompok Permata (Persatuan Memajukan Agama dan Tanah Air). Organisasi ini dibidani oleh pemuda Karo akibat tekanan serdadu Jepang yang memaksa meneyembah Tenno Haika padahal sebagian mereka telah menjadi Kristen oleh Zending. Tahun 1948, organisasi ini resmi menjadi sebuah lembaga di GBKP dengan panjangan Persadaan Man Anak Gerejanta, merupakan organisasi pemuda Karo yang paling tua.

Keterlibatan sejumlah pemuda Karo dalam pergerakan yang relatif terdidik saat itu mulai marak ketika beralihnya kekuasaan kolonial Belanda ke Jepang. Saat itu banyak pemuda yang masuk tentara, seperti : Talapeta (Taman Latihan Pelajar Tani), gyugun, heiho, keinedan, keibodan, dsb. Jepang ketika itu seolah membawa angin surga. Janji Jepang akan kemerdekaan merupakan obsesi yang dinantikan pejuang Karo karena merasa terpinggirkan oleh konsesi perkebunan kolonial Belanda. Sekalipun janji itu tidak pernah digenapi, pelajar dan tentara didikan Jepang banyak memberi andil dalam perjuangan pemuda Karo di Sumatera Timur.

Setelah Indonesia merdeka, peran pemuda Karo cukup berarti, misalnya : Selamat Ginting kemudian membentuk Barisan Pemuda Indonesia di Tanah Karo, sementara di Medan ia dipercaya sebagai Ketua Kelaskaran BPI yang sangat di segani waktu itu. Ketika Djamin Gintings menjadi Pangdam Bukit Barisan dan Matang Sitepu menjadi bupati Karo, mereka memprakarsai berdirinya SMA Negeri Kabanjahe tahun 1957. Nelang Sembiring dan Djamin Gintings ikut sebagai pendiri Universitas Sumatera Utara dengan memutuskan daerah Padang Bulan bekas persawahan orang Karo sebagai lokasi kampusnya. Itu baru sedikit catatan karya mereka yang aktivis sejak dari muda.

Sejak dari dulu hingga puluhan tahun Indonesia merdeka, sudah bertaburan perkumpulan orang Karo di banyak tempat termasuk oleh mahasiswa. Di Yogya ada Sinuan Buluh dan Piso Surit (UGM), Sada Perarih di Bandung, KMK Ernala (ITB), dan Permakan (Unpad), Karo Sada Ukur di Bogor, Ola Ate Aru di Jember. Di Jakarta sekitar tahun 1960 sudah ada Karo Sada Kata tapi lebih banyak kegiatannya menggelar GGA (Gendang Guro-guro Aron), maka para mahasiswa di Jakarta kemudian mendirikan Makadjaya (Mahasiswa Karo se Djakarta Raya) tampil dengan menerbitkan buletin Makadjaya dimana salah satu motor penggeraknya adalah NJ Sembiring yang juga kemudian mendirikan tabloid Piso Surit dan akhirnya sekarang pimpinan Sora Mido. Konon HMKI dahulunya adalah Hinpunan Mahasiswa Karo Indonesia, namun kemudian berubah menjadi Himpunan Masyarakat Karo Indonesia yang berdiri di Jakarta. Sekarang di Jakarta, sepak terjang mahasiswa Karo nyaris tidak terdengar. Kalau di Medan lain lagi, walaupun saya tidak pernah aktif di perkumpulan mahasiswa Karo semasa di USU, ada banyak perkumpulan mahasiswa Karo di sana : Ersinalsal (FE), Mbuah Page (FP), Eguaninta (FISIP), Tawar Bangger (Kedokteran), Pande Kaliaga (Teknik). Hukum, MIFA, IMKA di AMIK MBP dan fakultas lain saya lupa namanya. Belum lagi di universitas dan kota lain juga banyak perkumpulan mahsiswa Karo (PMK). Namun belum terlihat nyata out put ?nya, karena lebih banyak memikirkan soal GGA, setelah panitia bubar maka mati pula kegiatannya. Mungkin belakangan ada Formaken yang kritis terhadap pembalakan hutan.

Mahasiswa Karo di Bandung telah dua kali menyelenggarakan seminar. Dari sana pernah muncul ide untuk mendirikan asrama murah bagi ratusan mahasiswa Karo di Bandung, namun itu tetap saja menjadi wacana. Belum tahu siapa yang akan merealisasikan hal tersebut. Saya kira Pemda kabupaten Karo merupakan yang paling memiliki kepentingan mengenai hal ini, sebab bagai-manapun kampus adalah lahan subur untuk menciptakan peminpin-peminpin masa depan guna membangun kabupaten Karo dan masyarakat Karo secara keseluruhan.

Di internet ada mailing list Mahasiswa Karo, namun sayang kurang aktif. Apa boleh-buat acara mengenai Karo hanya ramai bila ada GGA, namun bila agak berat-berat sedikit, seperti : seminar, lomba karya tulis atau kegiatan lain peminatnya langsung drop. Saya sedikit terhibur dengan adanya wadah Permata di Jakarta dimana melalui mailing list permata-gbkp telah membuat gebrakan kecil menentang pembalakan hutan. Biar kecil mereka telah buka suara. Permata telah mampu menerbitkan majalah dengan mencari dana sendiri, Geluh (klasis Jakarta Bandung) dan Sinalsal (klasis Jakarta Bandung). Disamping itu masing-masing klasis ada BKSO (Badan Kerjasama Olahraga dan Seni), Juga banyak lainnya di berbagai kota, dimana pada tahap awal dahulu pernah dibeli seperangkat alat musik tradisional Karo untuk dipelajari para anggotanya. Ntah kalo sekarang?

Saya kira orang muda (mahasiswa) perlu banyak menempa diri dalam berorganisasi untuk mematangkan karakter sebelum terjun ke dunia nyata dan latihan banyak berbuat tanpa pamrih. Disana karakter seseorang akan digembleng. Bukan rahasia lagi, kalau kebanyakan peminpin adalah mantan aktivis, sebab rasa kepekaannya akan tumbuh melalui berorganisasi. Kurangnya wadah penggemblengan ini menyebabkan minimnya aktivis yang lahir dari kalangan orang muda Karo.